Pagi-pagi sekali ku injak pedal gas si Panther coklat agar melaju dengan cepat namun tetap dalam kendaliku. Iya, pagi sekali ketika mentari saja masih malu menampakkan diri, hanya segurat jingga pada teja di ufuk timur. Ba’da subuh aku berangkat menuju sebuah kota yang dikenal dengan bawang dan telur asin, yaitu Brebes.
Perjalanan karena tugas, namun aku jalani dengan senang hati. Karena pada dasarnya aku suka dengan petualangan. Dengan berpetualang aku menemukan hal-hal baru, berkenalan dengan orang-orang yang baru aku kenal dan temui dengan segudang pengalamannya.
Perjalanan pagi itu memang menyenangkan, ketika aku menyetir sendiri dan hanya ditemani lagu-lagu mp3 yang terputar pada radio mobil.
Perjalanan yang aku tempuh menghabiskan waktu tiga jam lebih sedikit. Perjalanan yang mengantar ku ke sebuah tempat yang dahulu pernah hilang. Hilang karena abrasi, karena gerusan ombak yang menggenangi daratan dan tambak-tambak nelayan.
Desa ini bernama Kaliwlingi. Dahulu ada seorang pemuda yang melakukan kegiatan yang dianggap sia-sia menurut sebagian besar masyarakat Kaliwlingi. Mashadi namanya, orang yang dianggap kurang kerjaan karena melakukan penanaman mangrove melalui bonggol-bonggol Avicennia yang bernama propagul. Dengan keyakinan, propagul tersebut akan tumbuh dan menjadi hutan agar rumah-rumah yang tersisa tetap utuh dan terselamatkan dari kerusakan yang lebih besar.
Beliau memahami bahwa mangrove itu kotor, tidak indah dan tidak gagah namun rumpunnya adalah pelindung. Pelindung dari gempuran gelombang yang terkadang liar dan membahayakan.
Mashadi kini menjadi tokoh yang menginspirasi, berbagai penghargaan di bidang lingkungan beliau Terima. Mashadi adalah rakyat yang merakyat dan kini menjadi wakil rakyat. Karena beliau, Kaliwlingi kini dikenal sebagai salah satu tujuan wisata unggulan di Kabupaten Brebes. Wisata pantai berlumpur yang berbeda dengan daerah lain yang pernah saya sambangi. Daerah wisata pantai tanpa sampah. Benar-benar bebas sampah. Semua dilakukan dengan pengelolaan swadaya dengan gotong royong.
Dibalik tajuk-tajuk Avicennia ada sekumpulan Kuntul yang menyihir pandangannya. Dengan refleks, sutter kamera aku pijit dengan lembut untuk mengabadikan kawanan tersebut.
Rasa takjub ku tak berhenti sampai disitu. Di setiap sudut ekowisata yang aku jajaki, semakin jauh aku melangkah semakin banyak hal-hal yang menarik. Hingga tak terasa sudah semakin jauh aku menjajaki tracking kayu yang tertata rapi dan terpaku hingga jingga diujung teja yang mengakhiri waktuku untuk menjelajah tempat tersebut.