Perkotaan pada umumnya mempunyai pertumbuhan penduduk relatif cepat yang berakibat pada kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini berdampak terhadap kebutuhan akan adanya sarana penunjang untuk memperlancar aktivitas semakin meningkat, guna mendukung sosial ekonomi di wilayah perkotaan. Salah satu fasilitas umum yang penting bagi pejalan kaki diantaranya adalah pembangunan trotoar.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badudu-Zain), trotoar diartikan jalan di tepi jalan besar yang biasanya lebih tinggi dari jalan besar itu, tempat orang berjalan kaki. Trotoar atau bisa disebut dengan tempat berlalu lalangnya para pejalan kaki yang aman dan nyaman untuk menuju daerah tujuannya. Memang jika dilihat dari fungsinya tersebut tentunya kita pun setuju bahwa trotoar merupakan hak bagi para pejalan kaki.
Untuk dapat berjalan dengan leluasa, nyaman dan aman maka pejalan kaki memerlukan fasilitas yang memang disediakan khusus yaitu trotoar. Karena tidak mungkin pejalan kaki akan berjalan pada badan jalan yang akan menimbulkan resiko kecelakaan dan mengganggu lalu lintas kendaraan yang ada.
Namun semakin tingginya penggunaan trotoar oleh pejalan kaki maka bermunculan faktor penghalang pada trotoar, diantaranya adalah pedagang kaki lima (PKL) dan parkir. Bahkan tidak sedikit pengguna sepeda motor yang memaksakan kendaraannya berjalan di trotoar untuk menghindari kemacetan.
Jakarta sebagai kota megapolitan sendiri pun menyimpan banyak carut-marut pemanfaatan trotoar sehingga tidak layak dijadikan barometer pembangunan di Indonesia. Trotoar yang seharusnya diperuntukan sebagai prasarana pejalan kaki, tetapi digunakan sebagai tempat parkir kendaraan bermotor dan juga disesaki oleh PKL bahkan tidak jarang sepeda motor yang melintas.
Menurut Naskah Ilmiah Balitbang PU bahwa saat ini kawasan pejalan kaki telah beralih fungsi, memiliki kualitas yang tidak memenuhi standar kelayakan, serta tidak sesuai dengan perilaku dan harapan pejalan kaki di Indonesia. Disamping itu, pengembangan prasarana pejalan kaki harus berkompetisi dengan berbagai aktivitas lainnya.
Hingga sampai saat ini para pejalan kaki masih terus “ diperkosa hak haknya “. Para pejalan kaki ini tidak lagi merasa aman dan nyaman dalam memanfaatkan prasarananya. Tidak sedikit kasus penabrakan pejalan kaki di kota Jakarta akhir-akhir ini yang menimbulkan korban jiwa.
Selain dilihat dari apek fungsi tadi, marilah kita tinjau dari korelasi antara nilai trotoar secara fisikal dengan kuantitas para pejalan kaki. Lebar trotoar direncanakan mampu memenuhi volume pejalan kaki yang ada. Trotoar disarankan untuk direncanakan dengan tingkat pelayanan serendah-rendahnya C (tingkat pelayanan trotoar dapat dilihat pada tabel 1). Pada keadaan tertentu yang tidak memungkinkan trotoar dapat direncanakan sampai dengan tingkat pelayanan E.
Tabel 1.
Tingkat pelayanan trotoar
Tingkat pelayanan | Modul(m²/orang) | Volume(orang/meter/menit) |
A | ³ 3,25 | £ 23 |
B | 2,30 – 3,25 | 23 – 33 |
C | 1,40 – 2,30 | 33 – 50 |
D | 0,90 – 1,40 | 50 – 66 |
E | 0,45 – 0,90 | 66 – 82 |
F | £ 0,45 | ³ 82 |
Sumber : Dirjen Bina Marga No. 007/T/BNKT/1990.
Untuk lebar tambahan bagi trotoar yang dinilai cukup untuk menampung para pejalan kaki bisa dilihat pada tabel 2. Lebar ini disesuaikan dengan funsional dari lokasi tersebut, baik dilihat dari segi nilai guna maupun tingkat kepadatan para pengguna jalan.
Tabel 2.
Lebar Tambahan
N (meter) | Keadaan |
1,5 | Jalan di daerah pasar |
1,0 | Jalan di daerah perbelanjaan bukan pasar |
0,5 | Jalan didaerah lain |
Sumber : Dirjen Bina Marga No. 007/T/BNKT/1990.
Dari tabel diatas, kita bisa melihat bahwa tingkat pelayanan dan lebar tambahan untuk trotoar saling berkorelasi antara satu dengan yang lainnya. Semakin baik tingkat pelayanan dan penyesuaian lebar trotoar dengan lokasi yang ada akan mempermudah akses para pejalan kaki tanpa ada hambatan-hambatan yang sekiranya mengganggu.
Dari fenomena yang terjadi di atas, kita mengatakan bahwa dengan konsep pembangunan seperti itu jangan harap ada penambahan trotoar di ruas-ruas jalan. Trotoar yang sudah ada pun kondisinya sangat menyedihkan. Kondisi perkerasan yang dibuat dengan susunan batako sudah banyak yang rusak. Bahkan di beberapa tempat banyak lubang yang membahayakan keselamatan pejalan kaki. Lubang-lubang itu sisa pekerjaan penambahan kabel telepon, kabel listrik, dan pemasangan pipa air serta galian saluran air pembuangan. Belum lagi pedagang kaki lima ikut menambah meriah trotoar. Pelebaran badan jalan -untuk mengakomodir kebutuhan pergerakan kendaraan bermotor- pun biasanya dilakukan dengan mengurangi lebar trotoar, bahkan sering kali dengan menghilangkannya. Dari kenyataan itu, dapat disimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan adalah untuk mengakomodir kebutuhan pergerakan kendaraan bermotor. Sedang infrastruktur yang dibutuhkan pejalan kaki dan pengendara sepeda -seperti trotoar- terabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu-Zain, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka sinar harapan, Jakarta
Dewar, R. and Pline, J.L., 1992, Driver and Pedestrian Characteristic, “Traffic Engineering Handbook”, Institute of Transportation Engineering, Prentice Hall, New Jersey.
Direktorat Jendral Bina Marga, 1990, Petunjuk Tertib Penggunaan Jalan (nomor 004/T/BNKT/1990), Jakarta.
Direktorat Jendral Bina Marga, 1990, Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan (nomor 011/T/Bt), Jalan, Jakarta.
Tanan, Natalia, 2013, Fasilitas Pejalan Kaki, Puslitbang Jalan dan Jembatan, Jakarta.
Soeparno, 2001, Perilaku Pejalan Kaki Selasar Satu Arah di Terminal Purbaya – Surabaya, Jurnal Sipil (ISSN : 1410-976 X) : Sipil Soepra Vol.3 No.7 Januari-April 2001, Semarang.
Sumber Foto:
http://news.detik.com/read/2013/05/06/122028/2238887/10/trotoar-di-jakarta-mulai-jadi-parkir-hingga-jalur-alternatif-motor
http://www.facebook.com/plugins/like.php?href=http://pemilu2019.com/article/129262/trotoar-fasilitas-yang-terabaikan.html&layout=standard&show_faces=false&width=450&action=like&font&colorscheme=light&height=35